Senin, 14 September 2015

Suku Madura

Suku Madura

MADURA


     Madura merupakan salah sebuah pulau Indonesia yang terletak di utara Pulau Jawa.Pulau Madura mempunyai keluasan lebih kurang 5,250 km² (lebih kecil daripada Pulau Bali), dengan penduduk sekitar 4 juta orang. Terdapat empat buah kabupaten di Pulau Madura, iaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya. Suku Madura merupakan indentitas dari suku madura itu sendiri. Madura selain terkenal dengan Kerapan Sapinya juga tak lepas dari adat istiadat kesukuannya yang masih melekat hingga sekarang. orang madura berbeda dengan suku lain pada umumnya. disini mereka lebih mengandalkan sifat kekeluargaan dan saling menghormati antar satu sama yang lain.


Sejarah 


     Secara politis, Madura selama berabad-abad telah menjadi subordinat daerah kekuasaan yang berpusat di Jawa. Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa timur seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit. Di antara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian timur Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara, serta sebagian Malang. Pulau Madura yang terdiri dari empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep terletak di timur laut Pulau Jawa dengan koordinat sekitar 7 derajat lintang selatan dan antara 112 derajat dan 114 derajat bujur timur. Panjang Pulau Madura kurang lebih 190 km, jarak terlebar 40 km, dan luas keseluruhan adalah 5.304 km2. Ketinggian paling rendah adalah daerah-daerah pantai dibagian utara tengah pulau berupa pegunungan-pegunungan kecil. Pulau ini dikelilingi oleh pulau-pulau kecil yang jumlahnya lebih dari 100, baik yang berpenghuni maupun tidak. Kebanyakan pulau-pulau ini berada di bagian timur. Kabupaten Bangkalan-sebagai lokasi penelitian-terletak diujung barat pulau. Pada saat ini, Madura secara administratif merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur.


Populasi


     Di samping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta, Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia Suku Madura juga banyak dijumpai di provinsi lain seperti Kalimantan, di tempat huruhara di Sampit dan Sambas. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang Madura senang berdagang dan dominan di pasar-pasar. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan, buruh, pengumpul besi tua dan barang-barang rongsokan lainnya. Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura


AGAMA

     Mayoritas masyarakat suku Madura adalah penganut Islam. Masyarakat Madura sangat taat beragama. Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting sebagai penanda identitas etnik suku ini. Bagi orang Madura, agama Islam seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati dirinya. Akibatnya, jika ada warga Madura yang memeluk agama lain selain Islam, identitas kemaduraannya bisa hilang sama sekali. Lingkungan sosialnya ‘akan menolak’, dan orang yang bersangkutan bisa terasing dari akar Maduranya


Senjata Tradisional 


     Arok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).
      Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.


Baju adat 

     Masyarakat umum mengenal pakaian khas Madura, yaitu hitam serba longgar dengan kaos bergaris merah putih atau merah hitam, di dalamnya, lengkap dengan tutup kepala dan kain sarung. Sebenarnya, pakaian yang terdiri dari baju pesa`an dan celana gomboran ini merupakan pakaian pria untuk rakyat kebanyakan, baik sebagai busana sehari-hari maupun sebagai busana resmi. Dalam penggunaannya, baju pesa`an, celana gomboran dan kaos oblong ini memiliki perbedaan fungsi bila dilihat dari cara memakainya. Kalangan pedagang kecil, seringkali mempergunakan baju pesa`an dan kaos oblong warna putih, dipadu dengan sarung motif kotak-kotak biasa


 Makanan Tradisional 

     Sate Madura adalah sate khas Madura. Sate Madura biasanya terbuat dari ayam. Madura selain terkenal sebagai pulau garam, juga terkenal dengan satenya. Sate madura sudah terkenal di seluruh Nusantara, Sate Madura dapat ditemukan hampir di semua daerah khususnya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Konon di Madura sendiri sate susah dicari. Tetapi selain ayam sebagai bahan utama sate juga ada yang menggunakan kambing yang ditandai dengan digantungnya bagian kaki belakang si kambing di rombong sang penjual sate. Bumbunya adalah campuran kacang yang ditumbuk halus petis dan sedikit bawang merah. Memanggangnya dengan api dari batok kelapa yang dihanguskan lebih dulu yang disebut dengan arang batok kelapa. Rasanya gurih tapi dipantangkan kepada mereka yang berkolesterol tinggi dan yang pengidap asam urat akut.


Bahasa 

     Bahasa Madura adalah bahasa yang digunakan Suku Madura. Bahasa Madura mempunyai penutur kurang lebih 15 juta orang, dan terpusat di Pulau Madura, Ujung Timur Pulau Jawa atau di kawasan yang disebut kawasan Tapal Kuda terbentang dari Pasuruan, Surabaya, Malang, sampai Banyuwangi, Kepulauan Kangean, Kepulauan Masalembo, hingga Pulau Kalimantan Bahasa Madura merupakan anak cabang dari bahasa Austronesia ranting Malayo-Polinesia, sehingga mempunyai kesamaan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia. Bahasa Madura banyak terpengaruh oleh Bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem hierarki berbahasa sebagai akibat pendudukan Mataram atas Pulau Madura. Banyak juga kata-kata dalam bahasa ini yang berakar dari bahasa Indonesia atau Melayu bahkan dengan Minangkabau, tetapi sudah tentu dengan lafal yang berbeda.


Masyarakat Madura 



     Berbicara tentang orang Madura sering kali kita langsung terbayang sosok orang yang terstigmakan dengan hal-hal yang berbau kekerasan, angkuh, egois, mau menang sendiri, cepat tersinggung, penuh curiga, dan suka berkelahi (carok). Bahkan dianggap bersinonim dengan senjata tajam. Tak heran, satu dari tiga etnis terbesar (Jawa, Madura dan Sunda) di Indonesia ini sangat unik untuk kemudian kita amati dan pahami bersama. Selain itu, suku di suatu pulau di Jawa ini memang cukup populer bahkan telah “menguasai” tidak hanya di Indonesia tetapi juga hampir di seluruh penjuru dunia berkat dunia pelancongannya. Menilai manusia Madura memang butuh banyak perspektif untuk menghasilkan sebuah pemahaman yang benar akan siapa sejatinya manusia Madura. Sejauh ini telah banyak penelitian-penelitian yang menjadikan orang Madura sebagai obyeknya. Akan tetapi ditambahkan juga bahwa sekalipun memiliki jiwa wirausaha, mereka jarang mau mengambil risiko tinggi, sehingga sedikit pengusaha Madura yang terdengar jatuh pailit namun kecil pula kemungkinan bagi mereka untuk tumbuh besar sampai menjadi konglomerat. Rata-rata orang Madura lalu dianggap tidak berjiwa pioner yang mau maju di garis terdepan yang belum dirambah orang, sebab mereka sangat percaya pada kemapanan tatanan yang tertib dan teratur rapi.


Budaya 

     Karapan Sapi merupakan acara yang sangat populer dan diadakan 2 kali sebulan selama bulan September hingga Oktober. Acara ini dimulai pada pukul 09.00 WIB di Bangkalan, Sampang dan Pamekasan, Madura. Karapan Sapi merupakan acara kebanggaan masyarakat Madura, terutama untuk kejuaraan tahunan yang biasanya diadakan oleh masyarakat lokal setelah musim panen di bulan September atau Oktober. Babak final diselenggarakan di Pamekasan,Madura, sekali setahun.




Pertanian

Hal yang mulai tampak istimewa ketika mendekat ke pohon tembakau Campalok. Daunnya agak hijau kekuning-kuningan, dan aromanya sangat menyengat. Jika daun tembakau dipegang, terasa lengket di tangan. “Perawatan tembakau Campalok sama seperti tembakau lainnya. Ketika baru ditanam, harus disiram setiap hari. Setelah itu, penyiraman dilakukan 2 hari sekali. Selain aroma yang menyengat, keunggulan lain tembakau Campalok pada bobotnya yang relati lebih berat. Itu berakibat pada harga tembakau Campalok yang bisa 20 kali lipat dari tembakau lainnya. Jika tembakau gunung biasa harganya di kisaran tertinggi Rp 35 ribu per kg, tembakau Campalok bisa mencapai Rp 750 ribu per kg. Untuk menjaga aroma, biasanya setelah kering, tembakau Campalok dibungkus dengan plastik. Berbeda halnya dengan tembakau biasa yang dibungkus dengan tikar

           

Suku Toraja

Suku Toraja

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja (Bag.I)

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Rambu Solo, tradisi, ritual pemakaman suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Identitas etnis

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Salah satu tarian tradisional suku Toraja
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelumpenjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. 

Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3]Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. 

Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).[6]

Sejarah

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Tongkonan, rumah adat tradisional suku Toraja
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. 

Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

                                      

Suku Nias

SUKU NIAS
 
Budaya Nias



 

Secara umum masyarakat Nias dianggap berasal dari sekelompok keturunan suku birma dan assam, tapi berbeda dengan asal usul orang batak. Ada banyak teori tentang asal usul suku nias dan belum ada yang dapat memastikan karna mereka aslinya berasal dari lebih dari satu grup etnik.
Perpaduan itu akan menjadi sangat bagus karena gabungan dari beberapa grup etnik. Ferrad (keturunan perancis) melaporkan bahwa seorang pelancong dari Arab yang bernama sulaiman menyebutkan banyak perbedaan suku-suku di tahun 851 SM.

Penggalian di gua Togi Ndrawa (menurut penelitian yang baru dilakukan di Heilberg, Jerman), atau gua Pelita menunjukkan bahwa masyarakat sudah tinggal disana sejak 7000 tahun yang lalu. Banyak tulisan yang juga mendukung teori tersebut. Contohnya : banyak masyarakat tinggal di pohon-pohon yang dipanggil Bela dan masyarakat tinggal ditebing yang dipanggil Nadaoya, menurut kepercayaan masyarakat Nias 2 suku diatas tersebut adalah sejenis roh-roh, roh terakhir yang jahat.

Di daerah Hinako dan dipulau-pulau Wesi selatan telah ada selama 17-18 generasi yang lalu. Mereka disebut suku Maru yaitu suku asli orang bugis di nias. Para missionaris menyatakan bahwa bahasa mereka telah hilang kira-kira 100 tahun yang lalu. Orang aceh datang ke nias kira-kira 13-14 generasi yang lalu.

Mereka selalu berhubungan satu sama lain sebagai polem di nias. Ketika orang aceh pertama kali masuk ke desa Foa dengan menyebrangi sungai, masyarakat nias memotong pohon besar dan menutup jalan keluar. Salah satu tujuan masyarakat nias adalah untuk mempelajari tenaga-tenaga gaib dan cara berperang dari orang aceh. Orang aceh menguasai daerah itu. Ada 3 bentuk cara berperang di nias, yaitu : simataha dari aceh, starla dari sumbar, dan trapedo yang merupakan gabungan dari keduanya.

Bangsa Belanda melakukan ekspedisi pertama kalinya di nias tahun 1855, kemudian pada tahun 1863. nias telah dikuasai Belanda tahun 1914.


Pulau paling terkenal rentang sebelah barat Sumatera mungkin Nias. Itu setidaknya yang terbesar dan paling padat penduduknya. Pada masa VOC, pulau ini dikenal sebagai pengekspor budak ke Aceh, Padang dan Benkoelen. Dengan cara ini bangsawan dari Nias hierarkis meraih emas dibutuhkan untuk mahar dan pesta-pesta ritual. Nias adalah masyarakat pejuang yang tidak hanya diperbudak orang, mereka juga pergi berburu kepala, misalnya untuk upacara pemakaman seorang bangsawan. Pemerintah kolonial berusaha untuk mengakhiri ini (P. Boomgaard, 2001). Sekelompok pemburu kepala tenang, Nias "kelompok pemburu datang untuk menyerahkan diri mereka sendiri" Nias, Sumatera Utara, 1920
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Perdagangan Budak

Nias menjadi sumber penjualan budak-budak, sehingga masyarakat Nias disebut “Laku Niha” yang artinya manusia yang diminta. Banyak para pedagang ke Gunungsitoli yang terdiri dari 3 suku asli yang berasal dari masyarakat menengah.

Orang Aceh, Sumbar, China dan Eropa membawa budak-budak dari Nias. Didaerah lain banyak budak-budak yang diambil dari suatu daerah, khususnya dibagian utara. Desa-desa di selatan lebih melindungi masyarakatnya dan lebih susah untuk dijangkau. Pemerintah kolonial Belanda mendukung perdagangan budak itu.

Pemerintah Belanda menuliskan disebuah buku bahwa penduduk Nias utara telah menjadi sedikit akibat dari perdagangan budak. Budak-budak dari Nias dikirim ke banyak tempat, contohnya mereka dijual ke padang (sumbar) karena untuk melunasi hutang-hutang. Mereka harus bekerja keras untuk beberapa tahun, yang biasanya sebagai pelayan sekarang, ada dibeberapa desa yang masyarakatnya berasal dari Nias di Sumbar. Budak-budak Nias juga dikirim ke Penang, Malaysia. Para Missionaris Khatolik yang tiba di Nias melaporkan bahwa orang-orang China membawa budak-budak Nias dengan kapal pada tahun 1820. budak-budak ini menjadi kristen karena diberi kebebasan di Penang. Lyman, seorang missionaris dari Amerika menyatakan bahwa sebuah kapal Perancis membawa sebanyak 500 orang budak-budak di tahun 1832.


Suku Nias
1954

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Kasta

Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Asal Usul

Mitologi

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Penelitian Arkeologi

Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

Marga Nias

Daftar marga Nias

Amazihönö

Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawolo, Bulu'aro, Bago

Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawolo, Dohare, Dohona, Duha

Fau, Farasi,

Gaho, Garamba, Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae

Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondro, Hulu, Humendru, Hura

Lafau, Lahagu, Lahomi, La'ia, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawolo, Lo'i, Lombu

Maduwu, Manao, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa, Mangaraja,Maruabaya

Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe

Saoiago, Sarumaha, Sihura,

Tafonao, Telaumbanua, Talunohi

Wau, Wakho, Waoma, Waruwu,wehalo,warasi

Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamili, Zendroto, Zebua, Zega, Zendratö, Ziliwu, Zoromi

Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.
                                                                        

Suku Bali

SUKU BALI

Suku Bali adalah masyarakat yang mendiami pulau Bali yang merupakan sebuah provinsi (Provinsi Bali). Pulau yang dikenal sebaga Pulau Dewata ini berada di timur Pulau Jawa. Dahulu kala ada sebua kerajaan yang menguasai seluruh pulau ini dan mengembangkan Kebudayaan Hndu yang melekat hngga sekarang
a. Sistem Kepercayaan/Religi Suku Bali
Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama Hindu- Bali. Mereka percaya adanya satu Tuhan dengan konsep Trimurti yang terdiri atas tiga wujud, yaitu:
  1. Brahmana : menciptakan;
  2. Wisnu : yang memelihara;
  3. Siwa : yang merusak.
Selain itu hal-hal yang mereka anggap penting adalah sebagai berikut.
  1. Atman : roh yang abadi.
  2. Karmapala : buah dari setiap perbuatan.
  3. Purnabawa : kelahiran kembali jiwa.
Tempat ibadah agama Hindu disebut pura. Pura memiliki sifat berbeda, sebagai berikut:
  1. Pura Besakih: sifatnya umum untuk semua golongan.
  2. Pura Desa (kayangan tiga): khusus untuk kelompok sosial setempat.
  3. Sanggah: khusus untuk leluhur.
Gambar 1. Pura Besakih merupakan salah satu pura di Bali. Pura ini selain untuk tempat ibadah, juga dijadikan tempat pariwisata.
Di Bali terdapat beribu-ribu pura dan sanggah. Masing-masing pura dan sanggah memiliki tanggal perayaan yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut.



1) Tanggalan Hindu–Bali
Tanggalan Hindu–Bali terdiri atas 12 bulan yang lamanya 355 hari. Sistem perhitungan dengan sistem Hindu disebut Syuklapaksa. Tahun baru Saka (Nyepi) jatuh pada tanggal satu bulan kesepuluh.

2) Tanggalan Jawa–Bali
Tanggalan Jawa–Bali terdiri atas 30 wuku. Tiap wuku terdiri atas tujuh hari. Perayaan yang didasarkan atas perhitungan penanggalan Jawa-Bali misalnya hari raya Galungan dan Kuningan. Selain itu juga digunakan untuk upacara-upacara sebagai berikut.

a) Manusia yadnya, adalah upacara siklus hidup masa anak-anak sampai dewasa.
b) Dewa yadnya, adalah upacara pada kuil-kuil umum dan keluarga.
c) Resi yadnya, adalah upacara pentahbisan pendeta (mediksa).
d) Buta yadnya, adalah upacara untuk kala dan buta yaitu roh-roh penunggu.

b. Sistem Kekerabatan Suku Bali

Dulu perkawinan di Bali ditentukan oleh kasta. Wanita dari kasta tinggi tidak boleh kawin dengan laki-laki kasta rendah, tetapi sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (mak dengan ngad). Hal itu akan menimbulkan bencana (panes).

Cara memperoleh istri berdasarkan adat ada dua, yaitu:
  1. memadik, ngindih: dengan cara meminang keluarga gadis;
  2. mrangkat, ngrorod: dengan cara melarikan seorang gadis.
c. Sistem Politik Suku Bali

Desa-desa di Bali dibuat berdasarkan kesatuan tempat. Desa-desa di daerah pegunungan mempunyai pola perkampungan memusat (banjar) yang dikepalai oleh khan boncor (khong). Selain itu di Bali juga dikenal kuil desa yang disebut kayangan tiga. Kesatuan organisasi lain yaitu subak dan seka. Subak merupakan organisasi irigasi yang mempunyai kepala sendiri. Seka merupakan suatu organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan khusus. Seka berfungsi menyelenggarakan upacara-upacara desa seperti: seka baris, seka truna, dan seka gong.

d. Sistem Ekonomi Suku Bali

Sebagian besar masyarakat Bali memiliki mata pencaharian sebagai petani. Selain padi, pertanian yang lain yaitu palawija, kopi, dan kelapa. Peternakan di Bali juga maju, yaitu ternak babi dan sapi. Selain itu juga dikembangkan peternakan kambing, kerbau, dan kuda.
  1. Perikanan: dikembangkan perikanan darat dan laut, perikanan laut terdapat di pinggir pantai. Para nelayan menggunakan jangkung (perahu penangkap ikan) untuk mencari ikan tongkol, udang, dan cumi-cumi.
  2. Di Bali juga banyak terdapat industri kerajinan, kerajinan yang dibuat meliputi: benda-benda anyaman, kain tenun, pabrik rokok, dan tekstil. Selain itu juga banyak perusahaan yang menjual jasa, seperti biro perjalanan, hotel, rumah makan, taksi, dan toko kesenian. Tempat usaha terbesar terdapat di Gianyar, Denpasar, dan Tabanan.
e. Sistem Kesenian Suku Bali

1) Seni Bangunan
Seni bangunan nampak pada bangunan candi yang banyak terdapat di Bali, seperti Gapura Candi Bentar.
2) Seni Tari
Tari tradisional Bali antara lain tari sanghyang, tari barong, tari kecak, dan tari gambuh. Tari modern antara lain tari tenun, tari nelayan, tari legong, dan tari janger.



3) Pakaian daerah
Pakaian daerah Bali sangat bervariasi, meskipun bentuknya hampir sama. Masing-masing daerah memiliki ciri khas simbolik dan ornamen yang didasarkan kepada kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dari seseorang juga dapat diketahui berdasarkan corakbusana dan ornamen perhiasan yang dipakai
Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
a. Udeng (ikat kepala)
b. Kain kampuh
c. Umpal (selendang pengikat)
d. Kain wastra (kemben)
e. Sabuk
f. Keris
g.  Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.
Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
a.  Gelung (sanggul)
b. Sesenteng (kemben songket)
c. Kain wastra
d. Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
e. Selendang songket bahu ke bawah
f. Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
g.  Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.
4) Rumah Adat 
Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China)
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.

5) Bahasa 

Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.

                                                                                          

Suku Asmat

SUKU ASMAT

Sejarah Suku Asmat
images (1)
Seperti telah kita ketahui bahwa Indonesia terdiri dari berbagai jenis suku dengan aneka adat istiadat yang berbeda satu sama lain.Suku-suku tersebut ada yang tinggal di pesisir pantai, perkotaan bahkan dipedalaman. Salah satu diantaranya Suku Asmat.
Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yohukimo dan Jayawijaya di antara berbagai macam suku lainnya yang ada di Pulau Papua. Sebagaimana suku lainnya yang berada di wilayah ini, Suku Asmat ada yang tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari 100 km hingga 300 km, bahkan Suku Asmat yang berada di daerah pedalaman, dikelilingi oleh hutan heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan umbi-umbian dengan waktu tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai daerah pemukiman satu dengan yang lainnya. Sedangkan jarak antara perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km. Dengan kondisi geografis demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya cara untuk mencapai daerah perkampungan satu dengan lainnya.
Secara umum, kondisi fisik anggota masyarakat Suku Asmat, berperawakan tegap, hidung mancung dengan warna kulit dan rambut hitam serta kelopak matanya bulat. Disamping itu, Suku Asmat termasuk ke dalam suku Polonesia, yang juga terdapat di New Zealand, Papua Nugini.

Kehidupan Adat Istiadat Suku Asmat 
ukiran
Suku asmat adalah sebuah suku di papua. suku asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. kedua populasi ini saling berbada satu sama lain dalam hal cara hidup,sturktur sosial dan ritual.populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi kedalam dua bagian yaitu suku bisman yang berada di antara sungai sinesty dan sungai nin serta suku simai.

Adat Kebiasaan
images
Dalam kehidupan masyarakat Suku Asmat, masih banyak kebiasaan yang sangat aneh. Salah satunya, kebiasaan mereka yang sangat mengerikan dan sulit diterima akal sehat, yaitu saat mereka membunuh musuhnya.
Mereka masih menggunakan cara-cara zaman prasejarah. Setelah dibunuh, mayat musuh tersebut dibawa pulang ke kampung. Di kampung, mayat tersebut dipotong-potong, lalu dibagi-bagi ke seluruh penduduk. Para penduduk itu berkumpul dan memakan potongan mayat bersama-sama.
Ketika memakan mayat itu bersama-sama, para penduduk menyanyikan lagu yang mereka sebut dengan lagu kematian. Tak cukup sampai di sana, mereka pun memenggal kepala si mayat. Otak mayat itu diambil, kemudian dibungkus dengan daun sagu. Setelah itu, otak tersebut dipanggang untuk dimakan bersama-sama. Betapa mengerikan.
Orang-orang Asmat pandai membuat hiasan ukiran. Hebatnya, mereka membuat ukiran tanpa membuat sketsa terlebih dahulu. Ukiran-ukiran yang mereka buat memiliki makna, yaitu persembahan dan ucapan terima kasih kepada nenek moyang. Bagi Suku Asmat, mengukir bukan pekerjaan biasa. Mengukir adalah jalan bagi mereka untuk berhubungan dengan para leluhur.
Orang-orang Suku Asmat percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal dapat menyebabkan bencana bagi orang yang masih hidup, menyebabkan peperangan, juga menyebarkan penyakit. Untuk menghindari hal tersebut, orang-orang Suku Asmat akan membuat patung dan menyelenggarakan berbagai macam pesta. Di antaranya adalah Pesta Bis, Pesta Perah, Pesta Ulat Sagu, dan Pesta Topeng.
Ada banyak pertentangan di antara desa asmat. yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai suku asmat membunuh musuhnya. ketika musuh bunuh, mayatnya dibawa kekampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk memakan bersama. mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggal kepalanya. otaknya dibunngkus daun sago dan dipanggang kemudian dimakan.

Berhias 
coreng
Kehidupan Suku Asmat belum banyak terpengaruh oleh kehidupan modern. Salah satu contohnya adalah kebiasaan berhias. Mereka masih berhias sesuai dengan cara mereka sendiri. Mereka mencoreng wajah dengan berbagai warna. Warna-warna tersebut mereka peroleh dengan cara yang sangat sederhana. Warna yang mereka gunakan untuk menghias wajah adalah warna merah, putih, dan hitam.
Untuk warna merah, mereka dapatkan dari tanah merah yang banyak di sekitar mereka. Warna putih mereka dapatkan dari kulit kerang yang sebelumnya ditumbuk sampai halus. Dan, warna hitam, mereka dapatkan dari arang kayu, yang juga ditumbuk sampai halus.
selain budaya, penduduk kampung syuru juga amat piawai membuat ukiran seperti suku asmat umumnya.
Ukiran bagi suku asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran suku asmat.
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. bagi suku asmat kala menukir patung adlah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yag ada di alam lain. itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
Percaya sebelum memasuki dusurga< arwah orang sudah meninggal akan mengganggu manusia. gangguan bisa berupa penyakit, bencana bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan mengelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat ulat sagu.
Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. namun kini membuat patung bagi suku asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat pesta ukiran. mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp. 100 ribu hingga jutaan rupiah diluar papua.

Mata Pencaharian 
pkrjaan
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari< burung< babi hitan< komodo dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah.
Dalam kehidupannya, Suku Asmat memiliki 2 jabatan kepemimpinan, yaitu a. Kepemimpinan yang berasal dari unsur pemerintah dan b. Kepala adat/kepala suku yang berasal dari masyarakat.Sebagaimana lainnya, kapala adat/kepala suku dari Suku Asmat sangat berpengaruh dan berperan aktif dalam menjalankan tata pemerintahan yang berlaku di lingkungan ini. Karena segala kegiatan di sini selalu didiihului oleh acara adat yang sifatnya tradisional, sehingga dalam melaksanakan kegiatan yang sifatnya resmi, diperlukan kerjasama antara kedua pimpinan sangat diperlukan untuk memperlancar proses tersebut.
Bila kepala suku telah mendekati ajalnya, maka jabatan kepala suku tidak diwariskan ke generasi berikutnya, tetapi dipilih dari orang yang berasal dari fain, atau marga tertua di lingkungan tersebut atau dipilih dari seorang pahlawan yang berhasil dalam peperangan.
Sebelum para misionaris pembawa ajaran agama datang ke wilayah ini, masyarakat Suku Asmat menganut Anisme. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam.
Dengan kegiatan sehari-hari yakni bercocok tanam di ladang, dengan jenis tanamannya wortel, matoa, jeruk, jagung, ubi jalar dan keladi juga beternak ayam, babi. Demikian menariknya adat istiadat suku ini, sehingga perlu dilestarikan. Disamping itu juga, dapat digunakan sebagai obyek pariwisata untuk mendapatkan devisa bagi negara.
”Berbeda beda tetapi tetap satu jua, itulah Indonesia”. Kata kata itu pasti sangat dekat di pikiran anda? Kalau kita membuka buku ragam budaya di tanah air, tentunya kita akan mengetahui bahwa negara Indonesia terdiri dari banyak suku dan budaya, salah satunya adalah Suku Asmat, suku yang mendiami wilayah timur indonesia (papua). Mari kita tengok lebih dalam tentang suku asmat.
Suku asmat merupakan sebuah suku dengan berjuta juta keunikan, serta menyimpan banyak potensi wisata. Suku ini sangat dikenal dengan hasil karya seni ukirnya. Anda sebagai pecinta wisata budaya pasti kenal dengan patung asmat? Sebuah karya yang sangat fenomenal. Suku asmat, terdiri dari 2 kelompok yaitu asmat pesisi dan asmat pedalaman. Keduanya sangat berbeda dalam hal dialek, cara hidup ataupun budayanya; tetapi ada kesamaan yaitu sangat menarik untuk dijadikan tujuan wisata budaya. Asmat pesisir terbagi lagi menjadi dua yaitu bisman dan simai.
                                                                             

Suku Bugis sulawesi

Suku Bugis, Sulawesi

suku Bugis
Suku Bugis, adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Selatan. Populasi suku Bugis ini adalah yang terbesar di Sulawesi Selatan, dan diperkirakan mencapai 6 juta orang pada sensus tahun 2000.

Orang Bugis adalah termasuk bangsa perantau dan pengembara. Populasi suku Bugis tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, selain di Sulawesi Selatan, suku Bugis juga tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Komunitas suku Bugis juga ditemukan ada di provinsi Riau, tapi pada umumnya sudah mengikuti adat-istiadat suku Melayu Riau, walaupun begitu mereka tetap mengaku sebagai orang Bugis. Keturunan orang Bugis juga ditemukan di Malaysia dan Brunei.

Agama Islam masuk ke kalangan orang Bugis pada abad 17, yang berkembang dengan cepat, sehingga saat ini menjadi agama rakyat bagi masyarakat Bugis. Orang Bugis mayoritas adalah pemeluk agama Islam.

Asal-usul suku Bugis pertama kali diperkirakan berasal dari daratan China Selatan, menurut para peneliti dikatakan dari Yunnan, China Selatan, sekitar awal abad Masehi, bersama kelompok deutro malayan, yang masuk dengan kelompok yang besar- ke wilayah kepulauan Asia Tenggara ini. Menurut dugaan lain, bahwa orang Bugis ini adalah penduduk penghuni daerah pesisir Indochina, di sekitar Burma dan Thailand, yang terdesak oleh bangsa Arya yang menginvasi daerah pesisir Indochina. Mereka sempat bertahan dan berperang melawan bangsa Arya ini, tapi karena mereka hanya terdiri dari para petani dan nelayan dan kalah dalam persenjataan, akhirnya mereka pun terpecah-pecah dan tersebar ke daerah kepulauan di Asia Tenggara dan salah satunya mendarat ke daerah Sulawesi Selatan sekarang ini.
Di daerah baru ini, mereka berbaur dengan penduduk asli yang terlebih dahulu berada di daerah ini. Tapi karena pertumbuhan mereka sangat pesat dengan budaya yang mereka bawa, akhirnya penduduk asli terdesak masuk lebih ke pedalaman dan menyingkir ke daerah lain.
gadis-gadis suku Bugis
Orang Bugis menyebut dirinya sebagai "To Ugi" yang berarti "orang Bugis". Nama "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
rumah tradisional suku Bugis
Seiring waktu berjalan, masyarakat Bugis purba ini tumbuh dan berkembang selama beberapa abad, dan menjadi beberapa kelompok-kelompok kecil yang tersebar ke segala penjuru pulau Sulawesi. Setelah beberapa abad berjalan, dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa kabupaten yaitu Luwu, Bone,Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
Secara sejarah asal-usul orang Bugis masih satu rumpun dengan orang Makassar dan orang Mandar. Banyak terdapat kemiripan dari segi adat-istiadat, budaya dan bahasa antara ketiga suku bangsa ini. Selain banyak terlibat hubungan kekerabatan di antara mereka.
Pemukiman masyarakat suku Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, kebanyakan masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.